PuisiAku ini adalah puisi Chairil Anwar yang paling memiliki corak khas dari beberapa sajak lainnya. Alasannya, sajak Aku bersifat destruktif terhadap corak bahasa ucap yang biasa digunakan penyair Pujangga Baru seperti Amir Hamzah sekalipun. Idiom ’binatang jalang’ yang digunakan dalam sajak tersebut pun sungguh suatu pendobrakan akan ANALISISUNSUR INTRINSIK PUISI "PENERIMAAN" KARYA CHAIRIL ANWAR Diposting oleh Ruthless pada tanggal May 06, 2020 Sedangkan “Dengan cermin aku berbagi” artinya si “aku” tidak ingin wanitanya mendua bahkan dengan bayangannya sekalipun. *** Sekian artikel dari ANALISIS UNSUR INTRINSIK PUISI PENERIMAAN KARYA CHAIRIL Analisisgaya bahasa pada puisi aku chairil anwar. Gaya bahasa, yaitu penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan/ meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Source: www.scribd.com. Puisi aku chairil anwar mengutip ikhtisar sejarah sastra indonesia (1969) karya ajip rosidi, berikut ini sajak lengkap puisi aku ciptaan chairil anwar: penganalisisansajak AKU karya KHAIRIL ANWAR menggunakan metode diantaranya: 1.Bahasa diantaranya usbjektivitas, dalam struktur kebahasaan,3.mengkaji matriks,heuristik,hermeneutik,serta inter tekstual a.Kajian Teoritis Aliran Ekspresionalisme Puisiaku karya chairil anwar ini ditulis (digubah) dalam masa penjajahan jepang yang sangat represif. Sang penyair ulung yang lahir pada 26 juli 1922 tersebut memang masih hidup seribu tahun lamanya. Aku Adalah Binatang Jalang Puisi / Aku Ini Binatang Jalang Puisi chairil anwar yang penuh dengan makna mendalam. Puisi aku karya chairil anwar Mv89. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. AkuKalau sampai waktuku'Ku mau tak seorang 'kan merayu Selengkapnya baca di siniChairil Anwar, DCD 19597ParafrasenyaKalau sudah habis nafaskuKu tak mau seorangpun menangisi kuTidak perlu ada tangis dan duka atas kematiankuAku ini binatang jalang yang bebas dan lepasYang terbuang oleh pergumulan manusia Aku manusia yang bebas tanpa adanya sebuah aturan yang mengikat, sampai peluru menebus badanku, ku tetap Berang dan berontak Sakit dan penderitaan akan ku tahanKu tahan hingga rasa itu hilang sendiriAku tak perduli atas hal apapun yang menghalanginAku hanya mau semangat, pikiran dan karyaku dapat hidup walaupun aku sudah tak bernyawa lagi Lihat Ruang Kelas Selengkapnya ï»żKompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Karya sastra adalah bentuk ekspresi artistik yang mengandung keindahan dan didasarkan pada ekspresi pribadi individu, baik dalam bentuk perasaan, pikiran, pengalaman hidup, dan imajinasi. Karya ini dapat diserahkan secara lisan atau tertulis dengan tujuan disukai oleh publik karena memiliki nilai estetika dan tujuan satu bentuk karya sastra yang diinginkan oleh publik pada umumnya adalah puisi. Puisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI adalah jenis sastra yang menggunakan bahasa yang terikat oleh ritme, mantra, rima, serta pengaturan baris dan stanza. Puisi juga dapat mengekspresikan ekspresi yang berasal dari jiwa seseorang, karena ia menggambarkan pikiran-pikiran dalam penyair yang diungkapkan melalui bahasa dengan memperhatikan keindahan kata-kata. Resta, 202268. Salah satu penulis yang karya-karyanya masih populer saat ini adalah Chairil Anwar. Pria muda yang lahir pada tanggal 26 Juli 1922 di Medan, diberi nama “Si Binatang Jalang” yang diambil dari puisi yang sangat populernya berjudul “Aku”. Kemunculan Chairil Anwar di dunia sastra pada generasi ke-45 membawa gelombang warna baru ke dalam puisi Indonesia. Tidak seperti puisi sebelumnya yang cenderung membosankan, puisi Chairil hidup, penuh antusiasme dengan ekspresi segar, baru dan berani mereka. Gaya bahasa yang dia ciptakan penuh emosi, ekspresif, langsung, tetapi masih indah. Karya-karya besar yang telah dibuat oleh Chairil Anwar patut dihargai. Pada kesempatan ini, penulis akan menghargai puisi Chairil Anwar berjudul Sendiri menggunakan pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik adalah pendekatan untuk studi sastra yang berfokus pada studi hubungan antara karya sastra dan realitas di luar karya-karya sastra. Abrams 1981 menambahkan pendekatan yang melihat karya sastra sebagai imitasi dan tambah sepi, tambah hampa Malam apa lagi Ia memekik ngeri Dicekik kesunyian kamarnya 1 2 3 4 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya Semiotik adalah ilmu yang pempelajari tentang tanda yang mempunyai makna. Tokoh dalam semiotik terdiri atas Ferdinan de Saussure, dan Charles Sander Pierce. Menurut Sariban, 200944-45 konsep Semiotik menurut Ferdinan de Saussure menjelaskan bahwa tanda mempunyai dua aspek, yakni penanda signifier, dan petanda signified. Penanda adalah bentuk formal yang menandai suatu petanda. Penanda adalah bentuk formal bahasa, sedangkan petanda adalah arti yang ditimbulkan oleh bentuk formal. Semiotika, biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda the study of signs, pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apa pun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna Scholes, 1982 ix. Menurut Charles S. Pierce 1986 4, maka semiotika tidak lain sebuah nama lain bagi logika. Sedangkan Ferdinand de Saussure 1966 16, semiologi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda,” suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat”. Konsep Semiotik menurut Charles Sander Pierce merupakan hubungan antara petanda dan penanda, yang terdiri dari ikon, indeks, dan simbol. Iklan 1. Ikon adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara petanda dan penanda. 2. Indeks adalah tanda yang menunjukan hubungan kausualitas sebab-akibat. 3. Simbol adalah tanda yang menunjukan tidak adanya hubungan alamiyah antara penanda dan petanda bersifat arbiter Sariban, 200945-46. Dalam pembahasan ini analisis semiotika dilakukan terhadap karya sastra yang sebaiknya dimulai dengan analisis bahasa dan menggunakan langkah-langkah seperti dalam tataran linguistik wacana. Yaitu dengan menganalisis aspek sintaksis, dan menganalisis aspek semantik. Puisi “Aku” karya Chairil Anwar adalah menggambarkan kegigihan dan semangat perjuangan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan, dan semangat hidup seseorang yang ingin selalu memperjuangkan haknya tanpa merugikan orang lain, walaupun banyak rintangan yang ia hadapi. Dari judulnya sudah terlihat bahwa puisi ini menceritakan kisah AKU’ yang mencari tujuan hidup. 1. Bait Pertama Kalau Sampai Waktuku Ku mau tak seorang kan merayu Tidak juga kau Pada Baris pertama “ Kalau Sampai Waktuku” penyair membuat kalimat seperti itu, penyair Waktu yang dimaksud dalam Baris pertama adalah sampaian dari waktu atau sebuah tujuan yang dibatasi oleh waktu. mengibaratkan kelak jika sudah saatnya di pergi . Pada baris kedua “ Ku mau Tak Seorang Kan Merayu ” penyair membuat kalimat seperti itu, penyair ingin jika memang sudah waktunya ia tak ingin ada satu orang pun yang membujuknya , memohon agar ia tetap disini. Pada Baris ke tiga “ Tidak Juga Kau ” kau disini adalah pembaca atau penyimak dari puisi ini. Ini menunjukkan betapa tidak pedulinya Chairil dengan semua orang yang pernah mendengar atau pun membaca puisi tersebut, entah itu baik, atau pun buruk. penyair membuat kalimat seperti itu , untuk menyampaikan bahkan dia sekali pun tidak bisa memohon. 2. Bait Kedua Tak Perlu sedu Sedan Aku ini binatang Jalang Dari kumpulan terbuang Pada baris pertama “Tak perlu sedu sedan” penyair membuat kalimat seperti itu, karna ia ingin tak perlu ada tangis dan kesediahan, Penyair pada baris Kedua “ Aku binantang Jalang” karena ia ingin menggambar seolah seperti binatang yang hidup dengan bebas, sekenaknya sendiri, tanpa sedikitpun ada yang mengatur. Lebih tepatnya adalah binatang liar. Karena itulah pada paris ketiga ia menulis “Dari kumpulannya terbuang”. Dalam suatu kelompok pasti ada sebuah ikatan, ia dari kumpulannya terbuang’ karena tidak ingin mengikut ikatan dan aturan dalam kumpulannya. 3. Bait Ketiga Biar peluru menembus kulitku Aku tetap merendang menerjang Pada Baris Pertama “Biar peluru menembus kulitku” pada baris tersebut tergambar bahwa penyair sedang diserang’ dengan adanya peluru menembus kulit’, tetapi ia tidak mempedulikan peluru yang merobek kulitnya itu, ia berkata “Biar”. Meskipun dalam keadan diserang dan terluka, pada baris ke dua “Aku tetap merendang menerjang “ Penyair masih memberontak, ia tetap meradang menerjang’ seperti binatang liar yang sedang diburu. Selain itu, lirik ini juga menunjukkan sikap penyair yang tak pantang menyerah . 4. Bait Keempat Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih perih Pada baris pertama” Luka dan bisa kubawa berlari” Penyair ingin tetao pergi membawa Semua cacian dan berbagai pembicaraan tentang baik atau buruk yang tidak ia pedulikan dari sajak tersebut juga akan hilang, seperti yang ia tuliskan pada lirik “Hingga Holang pedih perih “ Agar semua rasa sakit yang ia rasakan dapat segera hilang. 5. Bait Kelima Dan aku akan lebih tidak perduli Aku ingin hidup seribu tahun lagi Pada baris pertama “ Dan aku akan lebih tidak perduli “ ia tetap tidak mau peduli. Chairil berharap bahwa ia masih hidup seribu tahun lagi agar ia tetap bisa mencari-cari apa yang itu penyair ingin menunjukkan ketidakpeduliannya kepada pembaca, dalam puisi ini juga terdapat pesan lain dari penyair , bahwa manusia itu adalah makhluk yang tak pernah lepas dari salah. Oleh karena itu, janganlah memandang seseorang dari baik-buruknya saja, karena kedua hal itu pasti akan ditemui dalam setiap manusia. Selain itu, penyair juga ingin menyampaikan agar pembaca tidak perlu ragu dalam berkarya. Berkaryalah dan biarkan orang lain menilainya, seperti apa pun bentuk penilaian itu. Ikuti tulisan menarik Roman Sah lainnya di sini. Berikut teks puisi “Aku” Karya Chairil Anwar AKU Kalau sampai waktuku Ku mau tak seorangkan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi. “Aku mau hidup seribu tahun lagi”, tulis Chairil Anwar dalam sajak “Aku” atau “Semangat” pada tahun 1943, ketika ia berumur 20 tahun. Enam tahun kemudian ia meninggal dunia, dimakamkan di Karet, yang disebutnya sebagai “daerahku dalam “Yang Terampas dan Yang Putus” sajak yang ditulisnya beberapa waktu menjelang kematiannya pada tahun 1949. Sejak itu, sajak-sajaknya hidup di tengah-tengah kita. Makna dan Pesan dalam Puisi Aku Beberapa larik dalam puisi “Aku” telah menjelma semacam pepatah atau kata-kata mutiara “hidup hanya menunda kekalahan”, “Sekali berarti sudah itu mati”, “Kami cuma tulang tulang berserakan”, dan terutama larik yang dikutip di awal tulisan ini. Secara lisan maupun tertulis, larik-larik tersebut kadang-kadang dikutip terlepas dari makna utuh masing-masing sajak; kenyataan ini tentu tidak membuktikan bahwa kebanyakan anggota masyarakat kita telah menekuni puisi Chairil Anwar, juga belum menunjukkan bahwa pemahaman dan penghargaan masyarakat kita terhadap sastra telah tinggi. Namun, setidaknya ia mengungkapkan bahwa beberapa larik puisi Chairil Anwar sudah dianggap menjadi milik masyarakat, bukan lagi milik pribadi penyair itu. Ia dianggap pelopor Angkatan 45; oleh karenanya beberapa sajaknya dikenal siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah menengah. Dalam kelas, Chairil Anwar biasanya diperkenalkan sebagai penyair yang memiliki vitalitas, yang terutama terungkap dalam puisi “Aku”. Sajak yang larik terakhirnya mengawali tulisan ini mengandung antara lain bait bait berikut Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang. Dari larik-larik tersebut jelas bahwa, di samping vitalitas, ada sisi lain kehidupannya yang tergambar yang mungkin tidak bisa terhapus dari kehidupan berkesenian di negeri ini yakni kejalangannya. Sebagai “binatang jalang” lah Chairil Anwar merupakan lambang kesenimanan di Indonesia. Bukan Rustam Effendi, Sanusi Pane, atau Amir Hamzah, tetapi Chairil Anwar yang dianggap memiliki seperangkat ciri seniman tidak memiliki pekerjaan tetap, suka keluyuran, jorok, selalu kekurangan uang, penyakitan, dan tingkah lakunya menjengkelkan. Sejumlah anekdot telah lahir dari ciri-ciri tersebut. Tampaknya masyarakat menganggap bahwa seniman tidak berminat mengurus jasmaninya, dan lebih sering tergoda oleh khayalannya; mungkin yang paling mirip dengan golongan “binatang jalang” ini adalah orang sakit jiwa. Lepas dari benar tidaknya gambaran mengenai penyair ini, sebenarnya penggambaran itu sendiri membuktikan adanya sikap mendua terhadap seniman dalam masyarakat. Ia dikagumi sekaligus diejek; ia menjengkelkan, tetapi selalu dimaafkan. Keinginan untuk menjalani hidup dengan cara tersendiri itulah, yang sering tidak sesuai dengan cara masyarakat umum, yang menyebabkan kebanyakan orang sulit memahami sikapnya. Tetapi mengapa Chairil Anwar yang umumnya dianggap melambangkan ciri kesenimanan? Pada masa hidup penyair itu, sejumlah seniman kita sastrawan, pelukis, dan komponis tentunya juga menjalani hidup bohemian. Dalam bidang masing masing, Ismail Marzuki, Affandi, dan Sudjojono tentu tidak bisa dianggap lebih rendah dari Chairil Anwar, namun dalam kehidupan bohemian ternyata penyair inilah yang dianggap mewakili mereka. Hal ini tentu erat kaitannya dengan kehidupan dan kematiannya; tampaknya Chairil Anwar bisa bergaul dengan seniman dalam bidang apa pun sehingga pada zamannya mungkin ia paling banyak dikenal di antara mereka; dan ia mati muda. Kematiannya itu, yang umumnya dipandang sebagai akibat kehidupannya yang bohemian, menyebabkan gambaran tentangnya sebagai “binatang jalang” tidak pernah berubah. Rekan rekannya dikaruniai umur lebih panjang, suatu hal yang tentu bisa menggeser geser gambaran masyarakat tentang mereka. Chairil Anwar dan cara hidupnya yang ”jalang” telah menjadi semacam mitos; kita suka lupa bahwa sajak-sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap meskipun umurnya baru 26 tahun. Kita umumnya lebih suka membayangkan semangat hidup penyair ini seperti yang terungkap dalam sajak sajaknya “Semangat” dan “Kepada Kawan”, padahal dekat dekat kematiannya ia menulis larik-larik sebagai berikut DERAI DERAI CEMARA cemara menderai sampai jauh, terasa hari jadi akan malam, ada beberapa dahan di tingkap merapuh, dipukul angin yang terpendam. aku sekarang orangnya bisa tahan, sudah berapa waktu bukan kanak lagi, tapi dulu memang ada suatu bahan, yang bukan dasar perhitungan kini. hidup hanya menunda kekalahan, tambah terasing dari cinta sekolah rendah, dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan, sebelum pada akhirnya kita menyerah. Penyair yang pada usia 20 tahun meneriakkan keinginan untuk “hidup seribu tahun lagi” ini, pada usia 26 tahun menyadari bahwa “hidup hanya menunda kekalahan
 sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Sajak ini merupakan semacam kesimpulan yang diutarakan dengan sikap yang sudah mengendap, yang sepenuhnya menerima proses perubahan dalam diri manusia yang memisahkannya dari gejolak masa lampau. Proses itu begitu cepat, sehingga “ada yang tetap tidak diucapkan” sesuatu yang tentunya mengganjal di tenggorokan “sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Rima dan Irama dalam Puisi Aku Pengutaraan sajak ini pun tertib dan tenang masing masing bait terdiri dari empat larik yang sepenuhnya mempergunakan rima ab ab. Citraan alam yang dipergunakan Chairil Anwar pun menampilkan ketenangan itu suara deraian cemara sampai di kejauhan yang menyebabkan hari terasa akan menjadi malam, dan dahan yang di tingkap merapuh itu pun “dipukul angin yang terpendam”. Dalam keseluruhan sajak ini, kata “dipukul” jelas merupakan kata yang paling “keras” mengungkapkan masih adanya sesuatu di dalam yang “terpendam”, yang memukul-mukul dahan yang “merapuh”. Si aku lirik dalam sajak ini pun menyadari sepenuhnya bahwa hari belum malam, namun terasa “jadi akan malam”. Suasana yang mengendap dan pikiran yang tertib dalam sajak tersebut sama sekali berlainan dengan semangat yang teraduk dalam, misalnya, “Diponegoro” dan puisi “Aku”. Namun, dalam perkembangan puisi Chairil, perbedaan tersebut tidak membuktikan adanya perubahan yang mendadak. Benih kematangan perenungan itu sudah tampak sejak dini, bahkan pada sajak “Nisan”, yang ditulis pada awal kegiatannya sebagai penyair. Perbedaan antara “Nisan” dan “Derai derai Cemara” mengungkapkan perubahan yang mendasar dalam sajak yang ditulisnya tahun 1942 itu rahasia kehidupan diungkapkan dengan teknik yang belum dikuasai sehingga cenderung gelap, sedangkan sajak yang disusun menjelang kematiannya itu menunjukkan teknik persajakan yang sepenuhnya telah dikuasai sehingga terasa jernih. Bagaimanapun, Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai sosok yang penuh semangat hidup dan sikap kepahlawanan. Sajak sajaknya yang paling sering terdengar dalam pelbagai acara pembacaan puisi mungkin adalah “Aku” dan sadurannya “Krawang Bekasi”. Kita umumnya beranggapan bahwa “Aku” mencerminkan sikap individualistis penyair ini; boleh dikatakan berdasarkan sajak inilah ia dianggap seorang individualis. Tetapi sajak sadurannya “Krawang Bekasi” sama sekali tidak menunjuk kan sikap itu. Bahkan sebenarnya Chairil Anwar adalah salah seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa. Beberapa larik “Krawang Bekasi” berbunyi Teruskan, teruskan jiwa kami Menjaga Bung Karno Menjaga Bung Hatta Menjaga Sjahrir. Sajak saduran ini ditulis tahun 1948, ketika kita semua berada dalam kesulitan dan kebanyakan pemimpin bangsa menghadapi bahaya. Tahun demi tahun keadaan politik pun bergeser, dan 15 tahun setelah ditulis, dua larik “Menjaga Bung Hatta/Menjaga Bung Sjahrir” itu tidak jarang dihapus dalam pembacaan puisi. Demikianlah, “binatang jalang” yang dahulu hidupnya bohemian itu menjadi tokoh yang diperhitungkan dalam percaturan politik, suatu kenyataan yang tentunya ia sendiri pun tidak menduganya. Perhatiannya terhadap perjuangan bangsanyalah yang telah mendorongnya menyusun sajak saduran itu, dan bukan kecenderungan untuk memihak kelompok politik tertentu. Dorongan itu pulalah tentunya yang telah menghasilkan sajak yang sama sekali tidak mencerminkan sikap individualistis dan jalang PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945 Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu Aku sekarang api aku sekarang laut Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat Di zatmu di zatku kapal kapal kita berlayar Di uratmu di uratku kapal kapal kita bertolak & berlabuh. Penyair yang tidak pernah secara tersurat menyatakan keterlibatannya pada kegiatan politik pihak tertentu, yang pernah menulis larik-larik sajak yang menyatakan bahwa sejak Proklamasi ia “melangkah ke depan berada rapat di sisi” Bung Karno dan merasa bahwa ia dan Bung Karno “satu zat satu urat” itu, pada akhir paruh pertama tahun 60-an menjadi taruhan pelbagai pihak dalam kegiatan politik praktis. Pada tahun 1965, komisaris dewan mahasiswa sebuah fakultas sastra menyatakan bahwa gagasan kepenyairan Chairil Anwar bertentangan dengan faham Sosialisme Indonesia dan Amanat Berdikari yang digariskan Bung Karno; pernyataan itu kemudian dibenarkan oleh pimpinan fakultas yang bersangkutan, bahkan kemudian menolak tanggal 28 April hari kematian Chairil Anwar sebagai Hari Sastra. Pada pertengahan tahun yang sama, seorang tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia memuji keberanian pernyataan tersebut dan menyatakan bahwa pokoknya sesuai dengan sikap lembaganya yang tidak mengakui gagasan penyair yang diakui sebagai penyair terbesar ini. Pada waktu itu pula, Roeslan Abdoelgani masih seorang tokoh politik yang sangat berwibawa menulis sebuah karang an, “Chairil Anwar Juga Milik Seluruh Bangsa Indonesia”. Sangat terasa, nasib si “binatang jalang” ini berada di tangan orang orang politik. Pihak-pihak yang berebut kekuasaan ketika itu tentu telah memilih penyair ini sebagai salah satu bahan taruhan berdasarkan pertimbangan yang masak. Sudah sejak semula Chairil Anwar dinilai sebagai penyair penting; dan antara lain berkat pandangan Jassin, ia kemudian dianggap sebagai penyair terbesar setidaknya sesudah Perang Dunia II. Dalam kedudukan demikian, sikapnya berkesenian tentu bisa berpengaruh terhadap pandangan kesenian bangsa. Hal ini tentu tidak disukai golongan yang telah memiliki pandangan kesenian yang tegas, yang berpandangan bahwa kegiatan kesenian merupakan faktor sangat penting dalam serbuan politiknya. Pandangan politik pada masa itu tampaknya sulit sekali memisahkan Chairil Anwar dari “penemu” nya, Jassin, yang menolak faham realisme sosialis dan menawarkan humanisme universal. Penolakan tanggal 28 April sebagai Hari Sastra menyiratkan kenyataan bahwa penyair ini memang sungguh sungguh dianggap memainkan peranan menentukan dalam perkembangan sastra kita. Ia tumbuh di zaman yang sangat ribut, menegangkan, dan bergerak cepat. Peristiwa peristiwa penting susul menyusul; untuk pertama kalinya sejak dijajah Belanda negeri ini membukakan diri lebar lebar terhadap segala macam pengaruh dari luar. Pemuda yang pendidikan formalnya tidak sangat tinggi ini harus menghadapi serba pengaruh itu; dan ia pun tidak hanya mengenal para sastrawan Belanda yang dicantumkan dalam pelajaran sekolah, tetapi juga membaca karya sastrawan sezaman dari Eropa dan Amerika, seperti TS. Eliot, Archibald MacLeish, WH. Auden, John Steinbeck, dan Ernest Hemingway. Ia sempat menerjemahkan beberapa di antaranya, atau menyadurnya, atau mencuri beberapa larik dan ungkapannya. Kecerdasan dan dorongan semangatnya untuk menjadi pembaru menjadikannya mampu mengatasi serba bacaan itu; ia tidak dikuasai sepenuhnya oleh yang dibacanya, tetapi berusaha benar benar untuk menguasainya. Hasilnya adalah antara lain sajak saduran “Krawang Bekasi” dari karya MacLeish dan terjemahan “Huesca” dari karya John Cornford, seorang penyair yang tidak begitu terkenal. Sadurannya itu boleh dikatakan sudah menjadi milik umum di sini, sedangkan “Huesca” membuktikan keunggulannya sebagai penerjemah puisi. Dan ia telah pula berhasil mencuri dari khasanah sastra dunia demi puisi yang ditulisnya; kata Eliot, penyair yang salah sebuah sajaknya telah diterjemahkan Chairil Anwar, “penyair teri meminjam, penyair kakap mencuri.” Seperti perubahan yang sangat cepat di sekelilingnya, Chairil Anwar pun tumbuh sangat cepat, dan raganya layu dengan cepat pula. Ketika meninggal, mungkin sekali ia sudah berada di puncak kepenyairannya, tetapi mungkin juga ia masih akan menghasilkan sajak sajak yang lebih unggul lagi seandainya dia hidup lebih lama. Tetapi mungkin ia malah berhenti menulis puisi dan memasuki dunia politik atau dagang seandainya dikaruniai umur panjang. Sebaiknya, kita tidak usah saja membuat pengandaian. Chairil Anwar tidak bisa bekerja lebih lama. Ia telah meninggalkan sejumlah sajak untuk kita. Tidak ada hasil kerja manusia yang sempurna. Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin sekali sudah merupakan masa lampau, yang tidak cukup pantas diteladani para sastrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajaknya yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi. Biografi Singkat Chairil Anwar Chairil Anwar, lahir 26 Juli 1922 di Medan, meninggal 28 April 1949, di Jakarta. Berpendidikan MULO tidak tamat. Pernah menjadi redaktur “Ge- langgang” ruang kebudayaan Siasat, 1948-49 dan redaktur Gema Suasana 1949. Kumpulan sajaknya Deru Campur Debu 1949, Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus 1949, dan Tiga Menguak Takdir bersama Rivai Apin + Asrul Sani, 1950. Sajak-sajaknya yang lain, sajak-sajak terjemahannya, serta sejumlah prosanya dihimpun Jassin dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 1956. Selain menulis sajak, Chairil juga menerjemahkan. Di antara terjemahannya Pulanglah Dia si Anak Hilang karya Andre Gide, 1948 dan Kena Gempur karya John Steinbeck, 1951. Sajak-sajak Chairil banyak diterjemahkan ke Bahasa Inggris. Di antaranya terjemahan Burton Raffel, Selected Poems of Chairil Anwar 1962 dan The complete poetry and prose of Chairil Anwar 1970, Liauw Yock Fang dengan bantuan Jassin, The complete poems of Chairil Anwar 1974; sedangkan ke dalam bahasa Jerman diterjemahkan oleh Walter Karwath, Feuer und Asche 1978. Chairil Anwar lazim dianggap sebagai pelopor “Angkatan 45” dalam sastra Indonesia.

analisis puisi chairil anwar aku